Gerakan Boedi Oetomo tahun 1908 menandai kebangkitan nasional Indonesia. Gerakan itu muncul pada saat Indonesia masih sebagai bangsa terjajah. Gerakan ini tentu saja memberikan kontribusi besar terwujudnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemudian disusul dengan kemerdekaan Indonesia 11 tahun kemudian. Semua itu menandai terjadinya kebangkitan bangsa Indonesia untuk mewujudkan hari depan yang lebih baik.

Sekarang sudah hampir l00 tahun sejak Boedi Oetomo muncul dari tangan figur-figur intelektual yang jumlahnya sangat langka waktu itu. Apakah sekarang cita-cita itu sudah mewujud? Apakah Indonesia sudah mampu mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa maju di dunia? Apakah Indonesia sudah betul-betul menjadi bangsa mandiri? Apakah kita sudah puas dengan posisi Indonesia seperti sekarang?

Secara jujur harus dijawab bahwa sudah banyak kemajuan negeri ini dibanding seratus tahun. lima puluh tahun, atau dua puluh lima tahun yang lalu. Namun demikian harus jujur pula bahwa cita-cita tokoh pergerakan ataupun pendiri negeri ini belum semuanya mewujud. Kita masih tertinggal dibanding dengan negara-negara tetangga yang gerakan kebangsaanya muncul belakangan. Indonesia mengalami jatuh bangun, dan sekarang ini mengalami keterpurukan di banyak sisi.

Banyak persoalan mendasar dihadapi Bangsa Indonesia kini dan mendatang. Persoalan disekitar hukum masih banyak yang menggantung; pelanggaran HAM, ekonomi, pendidikan, peluang kerja, KKN, konflik horizontal dan vertikal, kejahatan dan kekerasan yang terus menggejala, kondisi psikologis bangsa yang kian rapuh, serta menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat masih menuntut perhatian ekstra dan para pemimpin.

Dalam kondisi seperti ini pula kita memulai era baru pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Namun demikian sayangnya baik pada pemilihan presiden tahap I maupun tahap II para kandidat presiden dan wakil presiden belum secara operasional menawarkan format baru pemerintahan dan rancangan program yang akan mereka buat, yang dapat memberi solusi terbaik bagi "penyembuhan" Indonesia yang lama sakit. Tentunya penyembuhan tersebut bukan hanya pada sisi fisik semata, tetapi juga secara psikologis yang dapat menentramkan masyarakat.

Keterpurukan Indonesia dalam banyak sisi menjadikan negara ini selalu tergantung pada kuasa negara lain. Pada ujung-ujungnya, masyarakat bangsa Indonesia akan kehilangan harga diri di mata dunia. Rekonstruksi bahkan format ulang pada banyak sisi tampaknya menjadi agenda yang harus dikedepankan para pemimpin terpilih nanti.

Dalam kaitan inilah UNISIA kali ini mengangkat tema tentang Merekonstruksi Kebangkitan Indonesia. Untuk itu pembaca bisa mengikuti pikiran-pikiran yang terkait dengan tema tersebut, antara lain dari Prof. Satjipto Rahardjo, Prof. Dawam Rahardjo, Prof. Mas'ud Machfudz, Prof. Machasin, Prof Mastuhu, Prof. Asip Hadi Pranata, Dr. Rusli Muhammad, dan lain-lain. Mudah-mudahan tulisan-tulisan tersebut bisa memancing diskusi lebih lanjut sehingga nantinya dapat menghasilkan format pikiran kongkret untuk membangun Indonesia ke depan.

Published: July 27, 2016

Isu-isu Kontemporer Ekonomi Pancasila

M. Dawam Raharjo (1)
(1)
207-217
2757

The Way of Indonesia to Attract and Protect Foreign Investment

Hasjim Muzadi (1), Mas'ud Machfudz (2)
(1) ,
(2)
218-237
186

Reformasi menuju Hukum Progresif

Satjipo Raharjo (1)
(1)
238-241
363

Rekonstruksi Lembaga Pengadilan Menuju Indonesia Baru

Rusli Muhammad (1)
(1)
242-254
181

Pemimpin

Asip E. Hadipranata (1)
(1)
255-262
409

Dilema Pendidikan

- Mastuhu (1)
(1)
263-270
161

Menjadikan Manajemen sebagai Paradigma Pembangunan dalam Mewujudkan Good Governance

- Muqodim (1)
(1)
271-277
214

Kerja Sama Antar Umat Beragama: Pilihan Masyarakat Majemuk

- Machasin (1)
(1)
278-291
525

Menggagas Efektivitas Manajemen Khas Indonesia dalam Konteks Globalisasi

- Supardi (1)
(1)
292-301
166

Membangkitkan Indonesia: Koalisi Antar-Agama Melawan Korupsi dan Kemiskinan

Zuly Qodir (1)
(1)
302-315
248

Merekonstruksi Makna Islam sebagai Agama Perdamaian

Sofwan Jannah (1)
(1)
316-324
438

Otonomi dan Pembangunan Daerah

Awan Setya Dewanta (1)
(1)
325-329
483