Vol.. 23, No. 2
APRIL 2016
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM edisi April 2016 akan menyajikan sejumlah artikel yang beragam antara lain penerapan teori tujuan pemidanaan dalam perkara kekerasan terhadap perempuan: studi putusan hakim. Adanya kecenderungan putusan hakim yang lebih memilih menjatuhkan pidana penjara sebagai sanksi primadona terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dapat dipahami paling tidak disebabkan oleh 2 (dua) faktor, pertama, sistem pengancaman pidana dalam perundang-undang Indonesia yang bersifat mengkondisikan hakim untuk cenderung selalu memilih penjara dalam setiap putusan pemidanaannya. Kedua, sifat tindak pidana yang diadili (yakni kekerasan terhadap perempuan) yang secara substantif memang merupakan kejahatan relatif serius. Selain itu, penggunaan teori retribusi/ pembalasan/ absolut terlihat dominan dalam 24 putusan yang diteliti memperlihatkan hakim sudah memperhatikan kepentingan korban (offender protection oriented).
Artikel lainnya memaparkan mengenai redesain sistem pengangkatan dan pemberhentian hakim di Indonesia. Dalam hal pengangkatan hakim, landasan konstitusional dan level undang-undang seolah-olah mengatur secara terpisah sistem pengangkatan hakim karier, hakim agung, dan hakim konstitusi. Lebih satu dekade ternyata praktik ini menyisakan sejumlah problem dan berjalan secara tidak linear (non integrated judiciary system). Hasil amandemen konstitusi dan integrasi dalam level undang-undang, belum mengatur secara jelas terkait dengan sistem pemberhentian hakim (judicial impeachment process) secara terpadu dan koheren di Indonesia. Perlunya pembenahan dalam judicial impeachment process tentunya menjadi indikator akuntabilitas kekuasaan yudikatif terhadap cabang kekuasaan lainnya.
Di samping kedua artikel tersebut, artikel berikutnya mengkaji tentang calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perspektif hukum progresif. Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 mensyaratkan dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Faktanya, di sejumlah daerah terdapat fenomena calon tunggal. Peraturan KPU Nomor. 12 Tahun 2015 rupanya tidak mampu mengatasi kebuntuan tersebut karena hanya menetapkan penundaan pelaksanaan pilkada. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 pun menjadi solusi yang progresif.
Unsur Menyalahgunakan Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi sebagai Kompetensi Absolut Peradilan Administrasi merupakan artikel pilihan lain yang dikaji melalui jurnal hukum edisi ini. Permasalahan timbul karena konsep penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan oleh beberapa ahli hukum dipandang sama dengan konsep menyalahgunakan kewenangan karena jabatan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan absolut antara Peradilan Tipikor dan Peradilan Administrasi.
Akhir kata, redaksi berharap semoga kehadiran Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM ini dapat memperluas cakrawala dan khasanah pengetahuan pembaca. Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan memberikan catatan-catatan penting terhadap artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang berpartisipasi menyumbangkan gagasannya.
Selamat membaca
Wabillahittaufiq wal hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Redaksi
Published: October 17, 2016
Vol.. 23, No. 1
JANUARI 2016
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM edisi Januari 2016 kembali hadir dengan mengupas sejumlah artikel beragam antara lain menyoroti kelemahan dan kekurangan dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005 dan UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang secara umum masih dominan berorientasi pada pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Walaupun pendekatan kesejahteraan telah digunakan, tapi dalam implementasinya pendekatan ini tidak diikuti dengan upaya pemenuhan hak sosial dasar yang merupakan hak konstitusional warga negara di wilayah perbatasan sehingga pengelolaan wilayah perbatasan belum maksimal.
Artikel selanjutnya mengkaji tentang keterwakilan politik perempuan dalam pemilu legislatif Provinsi Riau periode 2014-2019. Penempatan posisi perempuan pada legislatif di Provinsi Riau menjadi sangat penting, karena keterlibatan kaum perempuan di bidang politik tentunya akan memberikan keseimbangan dan warna dalam perumusan peraturan perundang-undangan penganggaran dan pengawasan yang berperspektif gender. Apalagi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersedia Kuota 30% Perempuan. Penerapan putusan ini masih harus berhadapan dengan sejumlah tantangan, antara lain budaya patriarkhi lokal, tingkat pendidikan, pemahaman dan kesadaran politik.
Selain dua artikel di atas, artikel berikutnya membahas kepastian Nilai Dasar Penghitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Artikel ini mempersoalkan ketidakpastian nilai transaksi dalam UU No. 20 tahun 2000 tentang BPHTB yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB, sehingga menimbulkan nilai tranksasi yang diajukan oleh wajib pajak dianggap tidak sesuai oleh petugas pajak. Ketidakpastian tersebut baik nilai transaksinya yang berubah maupun jumlah pajaknya yang harus dibayar oleh wajib pajak. Untuk itu agar ada kepastian dalam pembayaran BPHTB, maka perlu ditentukan nilai yang pasti sebagai dasar perhitungan BPHTB oleh instansi yang berwenang.
Sebagai penutup, disuguhkan pembahasan mengenai kepastian nilai Nominee Agreement kepemilikan saham perseroan terbatas, mengkaji pembentukan Nomine Agreement khususnya dalam kepemilikan saham Perseroan Terbatas serta kedudukan Nomine Agreement tersebut dalam sistem hukum di Indonesia. Secara yuridis melalui UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 33 ayat (1) melarang adanya praktik Nominee Agreement di Indonesia, namun karena tidak dibarengi pengaturannya dalam undang-undang Perseroan Terbatas praktik Nominee Agreement masih jamak terjadi.
Akhir kata, redaksi berharap semoga kehadiran Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM ini dapat memperluas cakrawala dan khasanah pengetahuan pembaca. Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan memberikan catatan-catatan penting terhadap artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang berpartisipasi menyumbangkan gagasannya.
Selamat membaca
Published: June 20, 2016
Vol.. 22, No. 4
Oktober 2015
Published: May 11, 2016
Vol.. 22, No. 3
Juli 2015
Published: April 11, 2017
Vol.. 22, No. 2
APRIL 2015
Perkembangan permasalahan hukum selalu menarik untuk dikaji. Dalam kesempatan ini Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM edisi April 2015 merangkum sejumlah problema hukum yang beragam. Diantaranya adalah artikel yang membahas anomali sistem pemerintahan presidensil pasca amandemen Undang Undang Dasar 1945. Salah satu point yang disepakati oleh PAH I dalam melakukan Amandemen UUD 1945 pada 1999 adalah memperkuat sistem presidensil. Hal ini pula mendapat legitimasi yang kuat dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan. Namun komitmen tersebut tidak ditaati secara konsisten dalam pelaksanaannya, sebab sistem presidensil dihadapkan dengan sistem multipartai dan merebaknya koalisi partai yang seharusnya lebih tepat dipasangkan dengan sistem parlementer. Akhirnya yang terjadi adalah anomali dan penyimpangan terhadap sistem presidensil.
Artikel selanjutnya mengamati Pengaturan dan urgensi whistle blower dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana. Meskipun telah dikenal dan digunakan di beberapa negara, whistle blower dan justice collaborator di Indonesia masih relatif baru dalam sistem peradilan pidana. Pengaturan Whistle Blower di Indonesia dapat dijumpai dalam beberapa peraturan seperti dalam PP No 71 Tahun 2000, UU No 31 Tahun 2014 tentang LPSK, dan SEMA Nomor 04 Tahun 2011 tentang Whistle blower dan Justice Collaborator di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Whistle blower dan justice collaborator digunakan dalam sistem peradilan pidanan karena berbagai kejahatan dengan modus operandi yang semakin canggih, dilakukan perorangan maupun dengan organisasi yang sangat rapi, sementara perkembangan sistem peradilan pidana tidak seirama dengan perkembangan kejahatan itu.
Selain dua artikel di atas, artikel berikutnya membahas pengawasan dan penegakan hukum terhadap sertifikasi dan labelisasi halal produk pangan. Pada dasarnya sudah ada peraturan mengenai proses pengajuan label halal di bawah naungan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), dan Departemen Agama. Demikian juga mengenai kehalalan produksi pangan di Indonesia sudah berpedoman pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan PP No. 69 Tahun 1996 tentang Label dan Iklan Pangan. Akan tetapi, hingga kini belum ada pengawasan dan penegakan hukum secara kolektif atas sertifikasi dan pelabelan halal tersebut. Akibatnya sering terjadi pemalsuan label halal oleh pelaku usaha. Karena pencantuman label halal bersifat sukarela.
Sebagai penutup, disuguhkan artikel yang mempersoalkan Perlindungan paten di Indonesia yang sejauh ini masih menyisakan beragam persoalan, baik yang sifatnya praktis (implementasi) maupun konseptual (penerimaan oleh masyarakat). Secara normatif ada tiga UU Paten yang pernah dan salah satunya masih berlaku di Indonesia. Ketiga UU Paten tersebut adalah UU No. 6 Tahun 1989, UU No. 13 Tahun 1997, dan UU No. 14 Tahun 2001. Adapun problema dalam UU Paten tersebut adalah bergesernya paradigma pembentukan UU Paten yang semula lebih didasari semangat kepentingan domestik-nasional, dalam perkembangannya berkelindan dengan kepentingan asing-negara maju.
Akhir kata, redaksi berharap semoga kehadiran Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM ini dapat memperluas cakrawala dan khasanah pengetahuan pembaca. Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan memberikan catatan-catatan penting terhadap artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang berpartisipasi menyumbangkan gagasannya.
Selamat membaca
Published: April 11, 2017
Vol.. 22, No. 1
Januari 2015
Published: May 11, 2016
Vol.. 21, No. 4
Oktober 2014
Published: May 11, 2016
Vol.. 21, No. 3
Juli 2014
Published: May 11, 2016
Vol.. 21, No. 2
April 2014
Published: April 25, 2016
Vol.. 21, No. 1
Januari 2014
Published: April 25, 2016
Vol.. 20, No. 4
Oktober 2013
Published: April 21, 2016
Vol.. 20, No. 3
Juli 2013
Published: April 21, 2016
Vol.. 20, No. 2
April 2013
Published: April 21, 2016
Vol.. 20, No. 1
Januari 2013
Sebagai pembuka awal 2013, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM edisi Januari 2013 menyajikan berbagai tema artikel yang menarik untuk dikaji, antara lain membahas tentang Legal GAP antara pemilik tanah dan aparat pelaksana dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu artikel yang mengangkat permasalahan seputar sengketa pertanahan. Artikel selanjutnya berisi tentang kedudukan dan status hukum Ketetapan MPR berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 telah memasukkan kembali TAP MPR ke dalam aturan hukum di Indonesia. Karakteristik perusahaan perseroan dan status hukum kekayaan perusahaan perseroan, merupakan artikel pilihan yang juga dikaji oleh Jurnal Hukum edisi ini. Makna frase yang berkaitan dengan “kekayaan negara yang dipisahkan†seringkali menjadi rancu, dan adanya prinsip pemisahan yang tegas antara kekayaan badan hukum persero dengan negara sebagai pemegang saham haruslah dipahami untuk menentukan kedudukan negara dalam perseroan. Artikel lain membahas tentang upaya transformasi jaminan kebendaan menjadi jaminan tunai dalam penjaminan kredit sindikasi Internasional. Kegiatan perekonomian dapat terus berjalan apabila ditopang dengan perkreditan yang menjadi kegiatan usaha perbankan.
Published: April 21, 2016
Vol.. 19, No. 4
Oktober 2012
Pada edisi Oktober 2012, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM menghadirkan sejumlah artikel yang aktual, antara lain mengkaji tentang studi perbandingan pengaturan tentang pengecualian industri pertanian terhadap berlakunya hukum persaingan usaha. Di banyak negara maju, pengaturan industri pertanian dikecualikan dari berlakunya hukum persaingan usaha. Pengaturan yang sama tidak dapat diketemukan di Indonesia. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dengan lahan pertanian yang luas, penduduk lebih banyak tinggal di daerah pedesaan, dan kebutuhan pangan nasional masih bergantung kepada produk pertanian impor. Meskipun Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus, beberapa poin dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 dapat digunakan untuk mengecualikan industri pertanian dari hukum persaingan usaha. Selain itu terdapat ketentuan World Trade Organization yang memberikan ruang bagi Indonesia untuk memproteksi industri pertanian.
Published: April 18, 2016
Vol.. 19, No. 3
Juli 2012
Published: July 7, 2013
Vol.. 18 (2011)
Edisi Khusus Vol. 18 Oktober 2011
Artikel lainnya mengupas tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (perbandingan antara Malaysia dan Indonesia). Seperti halnya di Indonesia, di Malaysia pun konsep kepentingan umum juga mengalami perubahan. Dengan pemindaan seksyen 3(b) APT 1960 pada 12 September 1991, telah terjadi perubahan konsep pengadaan tanah. Jika dahulunya tanah diambil untuk tujuan awam yang membawa faedah bagi orang ramai, tetapi sekarang ini tanah boleh diambil untuk memberi kepada orang perseorangan atau badan korporat untuk menjalankan kegiatan ekonomi untuk tujuan pribadi seseorang atau untuk tujuan badan atau syarikat. Dengan secara langsung, tanah milik seseorang boleh diambil untuk diberikan kepada orang lain, badan atau syarikat yang kaya dengan alasan untuk pembangunan negara.
Di samping kedua artikel tersebut, artikel lainnya adalah kejanggalan impechement kepala daerah di era pemilihan langsung. Sistem impeachment kepala daerah yang diterapkan di era pemilihan secara langsung ini dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, masih mengundang problematika dan distorsi sistem. Sebabnya adalah sistem impeachment masih didominasi oleh kekuasaan pusat dalam hal ini presiden.
Landasan filosofis kekuatan mengikatnya kontrak, merupakan artikel pilihan yang juga dikaji melalui jurnal hukum edisi ini. Sebagai akibat dari pengaruh paradigma kebebasan berkontrak , terjadi sakralisasi otonomi individu dalam kontrak. Otonomi individu itu kemudian menjadi dasar kebebasan berkontrak yang kemudian menjadi tulang punggung bagi perkembangan hukum kontrak. Timbulnya pandangan akan kesucian kontrak merupakan salah satu ajaran yang dianut teori hukum kontrak klasik sebagai akibat langsung adanya kebebasan berkontrak. Kesucian kontrak semata-mata merupakan suatu ekspresi dari prinsip atau asas yang menyatakan bahwa kontrak dibuat secara bebas dan sukarela, oleh karenanya ia adalah sakral. Di sini tiada keraguan bahwa kesucian tersebut merupakan produk kebebasan berkontrak, dengan alasan bahwa kontrak itu dibuat atas pilihan dan kemauan mereka sendiri, dan penyelesaian isi kontrak dilakukan dengan kesepakatan bersama (mutual agreement). Landasan filosofis kekuatan mengikatnya kontrak dalam hukum Islam bersumber langsung dari Al Quran.
 Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan memberikan catatan-catatan penting terhadap artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran-pemikiran progesif dan konstruktif dalam menyikapi berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga Jurnal Hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah keilmuan mengenai perkembangan hukum di Indonesia.
Published: January 23, 2017
Vol. 18 No. 4 (2011)
Published: March 2, 2016
Vol. 18 No. 3 (2011)
Published: March 2, 2016
Vol.. 18, No. 2 (2011)
Vol 18, No 1 (2011)
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alikum Wr. Wb.
Jurnal Hukum edisi April 2011 menghadirkan artikel yang beragam, antara lain mengkaji tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran HAM Berat. Peranan penting dan positif korporasi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara seringkali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran yang mengarah pada hukum pidana. Tidak jarang korporasi melakukan unfair business yang tidak hanya merugikan suatu negara dan konsumen, tapi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Ketika korporasi melakukan tindak pidana, maka ia dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan baik ditujukan kepada pengurusnya maupun langsung kepada korporasi. Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum pidana bukan merupakan hal baru dan tidak menimbulkan persoalan hukum yang berarti.Permasalahan baru muncul manakala korporasi melakukan tindak pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, Hal ini karena baik Statuta Roma maupun UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak mengakui korporasi sebagai subjek delik. Kedua instrumen hukum tersebut hanya mengenal pertanggungjawaban pidana individu (individual criminal responsibility) bukan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal responsibility).
Artikel lainnya mengupas tentang asas tanggung jawab negara sebagai dasar pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran negara dalam pengaturan permasalahan lingkungan hidup dirasakan penting karena di Indonesia telah terjadi beberapa kasus terkait permasalahan lingkungan hidup antara lain kasus banjir lumpur yang terjadi di Sidoarjo, yang walaupun sudah terjadi selama beberapa tahun, namun hingga kini belum tuntas penanganannnya. Terlepas adanya perdebatan apakah tragedi semburan lumpur tersebut terjadi akibat adanya bencana alam atau ulah manusia, negara tetap harus melaksanakan tanggung jawabnya untuk mengelola dan melindungi kondisi lingkungan yang menjadi lokasi banjir lumpur. Pada pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, negara bekerja dengan berlandaskan pada beberapa asas, salah satunya adalah asas tanggung jawab negara, yang menjadikan negara sebagai titik sentral dan acuan. Negara mempunyai peran penting dan sentral.
Di samping kedua artikel tersebut, artikel lainnya adalah tentang penguatan peran komisi yudisial dalam penegakan hukum di Indonesia. Pembentukan Komisi Yudisial juga merupakan konsekuensi logis yang muncul dari penyatuan satu atap lembaga peradilan pada MA. Ternyata penyatuan satu atap berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA. Cita-cita mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak mungkin tercapai hanya dengan membiarkan peradilan berjalan sendiri tanpa dukungan lembaga lain. Lembaga yang secara formal diberi tugas dan peran mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas melalui pencalonan hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi Yudisial.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan memberikan catatan-catatan penting terhadap artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran-pemikiran progesif dalam menyikapi berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat. Semoga Jurnal Hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah keilmuan mengenai perkembangan hukum di Indonesia.
Selamat membaca Wabillahittaufiq wal hidayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb. RedaksiPublished: February 2, 2016
Vol.. 18, No. 1 (2011)
Vol 18, No 1 (2011)
Artikel lainnya mengupas tentang ganti rugi perbuatan melawan hukum dalam gugatan perwakilan kelompok di Indonesia. Penyelesaian ganti rugi dilakukan setelah pertanggungjawaban ada dalam pertimbangan putusan hakim. Pada dasarnya pelaksanaan ganti rugi merupakan eksekusi putusan terhadap gugatan perwakilan kelompok yang dikabulkan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Pendistribusian ganti rugi merupakan tahapan akhir dari prosedur gugatan perwakilan kelompok. Meskipun tahapan penyelesaian ganti rugi ini hanya bersifat administratif, tetapi persoalannya tidak dapat dianggap ringan. Ini berkaitan dengan masalah uang yang dapat memicu perpecahan. Ganti rugi dapat dibagikan kepada anggota kelas atau sub kelas setelah dilakukan notifikasi.
Di samping kedua artikel tersebut, artikel lainnya adalah tentang perlindungan hukum bagi buruh migran terhadap tindakan perdagangan perempuan. Fenomena perdagangan orang di Indonesia tidak saja terbatas untuk tujuan prostitusi atau eksploitasi seksual orang, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi lain, seperti kerja paksa dan praktik menyerupai perbudakan di beberapa wilayah sektor Informal, termasuk kerja domestik dan mempelai pesanan. Perdagangan orang merupakan tindakan kejahatan yang sangat merendahkan martabat orang dan merupakan bentuk perbudakan orang di jaman modern. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan memberikan catatan-catatan penting terhadap artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran-pemikiran progesif dalam menyikapi berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga Jurnal Hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah keilmuan mengenai perkembangan hukum di Indonesia.
Published: June 13, 2016
Vol.. 17, No. 4 (2010)
Vol.17 No. 4 OKTOBER 2010
Artikel lainnya mengupas masalah hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kerangka pengelolaan keuangan negara dan daerah. Otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi daerah dalam rangka melakukan pengelolaan keuangan. Meskipun dasar hukum pelaksanaan keuangan negara dan keuangan daerah berbeda, tetapi masih terdapat hubungan yang erat antara pemerintah pusat dan daerah karena pamerintah daerah merupakan penerima delegasi dari pemerintah pusat dan pemerintah pusat tetap harus melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah agar pengelolaan yang dilaksanakan tetap berada dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Di samping kedua artikel tersebut, artikel lainnya adalah tentang paradigma tradisionalisme dan rasionalisme hukum dalam perspektif filsafat ilmu.Tulisan ini membahas pengutuban dua mainstream aliran hukum, yaitu antara rasionalisme dan tradisionalisme yang terjadi dalam bingkai pemikiran hukum Islam dan antara rasionalisme, positivisme, dan normativisme dalam tradisi pemikiran positivisme barat. Selain itu, tulisan ini juga menyorot soal implikasi konkrit dari gejala terjadinya perbedaan pandangan antara hukum Islam dan positivisme barat menurut perspektif filsafat ilmu.
Artikel berikutnya adalah tentang keabsahan perjanjian dengan klausul baku.Penggunaan kontrak baku dalam dunia bisnis dewasa ini menimbulkan permasalahan hukum yang memerlukan pemecahan. Secara tradisional suatu perjanjian terjadi didasarkan pada asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang memiliki kedudukan yang seimbang. Kesepakatan yang didapat dalam perjanjian itu merupakan hasil negosiasi diantara para pihak. Poses semacam itu tidak ditemukan dalam perjanjian baku. Hampir tidak ada kebebasan dalam menentukan isi perjanjian dalam proses negosiasi. Isi atau syarat-syarat perjanjian telah ditentukan secara sepihak oleh pengusaha. Praktik tersebut di satu sisi sangat menguntungkan pengusaha, namun di sisi lain menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan memberikan catatan-catatan penting terhadap artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran-pemikiran progesif dalam menyikapi berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga Jurnal Hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah keilmuan mengenai perkembangan hukum di Indonesia.
Published: January 28, 2016
Vol.. 17, No. 3 (2010)
Vol. 17 No. 3 JULI 2010
Artikel lainnya mengupas masalah Bank Indonesia dalam tata pemerintahan Indonesia. Kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum tidak mempunyai kedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan Mahkamah Agung atau Badan Pemeriksa Keuangan. Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen, tetapi secara administratif dan secara fungsional melakukan tugas yang sebenarnya adalah merupakan bagian dari tugas pemerintah di bidang keuangan dan perbankan.
Di samping kedua artikel tersebut, artikel lainnya adalah tentang kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi di indonesia. Kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana ekonomi sebagai bentuk kebijakan publik untuk menanggulangi masalah kejahatan perekonomian, masih menitik beratkan pada upaya kriminalisasi melalui peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum oleh Sistem Peradilan Pidana (SPP). Aktor-aktor non SPP belum diberdayakan secara maksimal dalam penanggulangan tindak pidana ekonomi melalui upaya pencegahan.
Artikel berikutnya adalah tentang perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dalam putusan pengadilan negeri sebagai implementasi hak-hak korban.Undang-Undang P-KDRT belum mengakomodir hak-hak korban untuk mendapatkan ganti rugi material atas penderitaan yang dialami baik dalam bentuk restitusi maupun kompensasi; hal ini nampak dalam putusan Pengadilan, hakim memutuskan hanya berdasarkan “apa yang tertulis†dalam undang-undang dan tidak memasukkan hak-hak korban sebagai pengganti penderitaan yang dialami.
Artikel mengenai faktor-faktor sosiolegal yang menentukan dalam penanganan perkara korupsi di pengadilan juga dikupas dalam jurnal hukum edisi ini. Beberapa faktor sosiolegal yang bekerja dalam penanganan perkara korupsi baik di Pengadilan Tipikor maupun di Pengadilan Umum. Faktor-faktor tersebut meliputi: kualitas input perkara, kelengkapan alat-alat bukti dan kualitas dakwaan, komposisi dan kualifikasi majelis hakim, dan lingkungan sosial. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan hakim di pengadilan dalam menangani perkara korupsi.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan memberikan catatan-catatan penting terhadap artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran-pemikiran progesif dalam menyikapi berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga Jurnal Hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah keilmuan mengenai perkembangan hukum di Indonesia.
Published: November 9, 2015
Vol.. 17, No. 2 (2010)
Vol. 17 No. 2 APRIL 2010
Published: April 15, 2010
Vol.. 17, No. 1 (2010)
Volo. 17 No. 1 JANUARI 2010
Artikel yang kami hadirkan kali ini antara lain tulisan I Dewa Gede Palguna, constitutional question: latar belakang dan praktik di negara lain serta kemungkinan penerapannya di Indonesia. Melalui perbandingan dengan praktik di Jerman terlihat bahwa, meskipun bentuknya berupa pertanyaan (question), konstruksi pemikiran dan substansi yang ada dalam constitutional question di Jerman adalah pengujian undang-undang. Oleh karena itu, mekanisme dimaksud sangat memungkinkan untuk diadopsi di Indonesia tanpa memerlukan perubahan terhadap UUD 1945. Pertimbangan untuk mengadopsi mekanisme constitutional question bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Bahkan, secara logis, justru suatu kebutuhan. Sebab, ada beberapa keuntungan penting yang dapat diambil dari penerapan mekanisme constitutional question itu jika hendak diadopsi oleh Indonesia.
Artikel berikutnya adalah tentang perda bernuansa syariah dan hubungannya dengan konstitusi. Substansi Perda bernuansa syariah beragam, masing-masing daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam membuat Perda dalam rangka penertiban masyarakatnya. Masih banyak daerah yang menghendaki meniru membuat Perda bernuansa syariah, akan tetapi ada juga orang-orang yang alergi mendengar Perda-perda yang bernuansa syariah tersebut, sehingga seakan terjadi pro-kontra terhadap Perda bernuansa syariah itu. Tetapi, banyak pihak yang menilai bahwa Perda itu isinya mengajak kepada kebaikan, sehingga tidak perlu dipermasalahkan.
Di samping kedua artikel tersebut artikel lainnya adalan tentang imunitas negara asing di depan pengadilan nasional dalam kasus pelanggaran ham berat konsekuensi hukum jus cogens terhadap imunitas negara. Kurangnya kepastian hukum (lack of certainty) merupakan salah satu kelemahan hukum internasional yang banyak disorot oleh para pakar hukum internasional. Salah satu ketidakjelasan yang membawa pada ketidakpastian hukum tersebut adalah pada masalah hierarkhi ketentuan-ketentuan hukum internasional. Ketidakjelasan masalah hierarkhi ini tentu sangat berpotensi menimbulkan persoalan mana yang harus diutamakan bilamana sumber hukum yang satu bertentangan dengan sumber hukum yang lain, mana yang harus diutamakan.
Artikel lainnya adalah tentang akomodasi nilai-nilai budaya masyarakat Madura mengenai penyelesaian carok. Dalam Hukum Pidana akomodasi nilai-nilai budaya masyarakat Madura mengenai penyelesaian perkara carok dalam hukum pidana dilakukan dengan merubah konsepsi hukum pidana menjadi hukum publik “berdimensi privat†khusus terhadap pembunuhan yang disebabkan oleh carok. Perubahan tersebut menjadikan mediasi penal dalam perkara carok atas dasar nilai-nilai budaya masyarakat Madura diakomodir dalam hukum pidana melalui adopsi beberapa prinsip tribal mootes model, victim-offender mediation model, dan community panels or courts model yang cocok dan sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.
Published: February 15, 2012